Imam al-Bukhâri, Amirul Mukminin dalam bidang hadits

Imam al-Bukhâri, Amirul Mukminin dalam bidang hadits

Oleh: Ibnu Mubarok

تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِيْ كِتاَبَ اللهِ وَسُنَّتِيْ

Aku tinggalkan di tengah kalian jika kalian memeganginya tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnahku [HR. al-Hâkim, dari Abu Hurairah )

Disiplin ilmu  yang sangat pantas dan layak untuk mendapatkan perhatian besar setelah Kitâbullâh  adalah Hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebab, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa kita tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan berpegang-teguh kepada Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara tokoh terkemuka dalam bidang hadits adalah Abu Abdillâh Muhammad bin Ismâil yang lebih dikenal dengan Imam al-Bukhâri. Sebuah nama yang sangat mashur dalam sejarah Islam, terutama oleh penuntut ilmu yang menfokuskan diri dalam bidang ilmu hadits.

Beliau lahir dengan nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari. Beliau lahir setelah shalat jumat pada tanggal 21 Juli 810 atau 13 Syawal 194 H di kota Bukhara sebuah daerah di tepi Sungai Jihun,  yang terletak di sebelah tengah negara Uzbekistan.

Ayah Imam Bukhari bernama Ismail bin Ibrahim. seorang yang bertakwa dan wara’, sempat belajar dari Imam Malik rahimahullah dan berjumpa Hammad bin Zaid dan Ibnul Mubârak. Namun Allah berkehendak mewafatkannya ketika Imam al-Bukhâri masih belia. Karena itu, beliau tumbuh dan berkembang dalam tarbiyah dan asuhan sang ibu. Pada masa kanak-kanak, Muhammad bin Ismail sempat mengalami kebutaan. Suatu malam, sang Ibu bermimpi melihat Ibrâhîm al-Khalîl Alaihissallam dan berkata kepada ibunya, “Wahai wanita, Allâh telah mengembalikan penglihatan kepada anakmu karena engkau banyak menangis (banyak berdoa)”. Di pagi harinya, penglihatan putranya kembali normal.

Imam Bukhari lahir dalam lingkungan yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Bahkan sudah menunjukkan bakat-bakat kecerdasan. Al-Qur`ânpun sudah dihafalkan semenjak dini.   Ketajaman ingatan dan hafalannya melebihi anak-anak seusianya. Saat berusia 10 tahun, Imam al-Bukhâri berguru kepada ad-Dakhili, seorang ulama ahli hadis. Sang Imam tidak pernah absen belajar hadis dari gurunya itu.  Setahun kemudian ia mulai menghafal hadis Nabi SAW. Saat itu ia sudah ditunjuk untuk mengoreksi beberapa kesalahan penghafalan matan maupun rawi dalam sebuah hadis yang diucapkan gurunya. Pada usia 16 tahun ia sudah mengkhatamkan hafalan hadis-hadis di dalam kitab karangan Waki al-Jarrah dan Ibnu Mubarak.

Imam al-Bukhâri memiliki lebih dari seribu guru. Ia sendiri pernah berujar bahwa kitabnya, Jami’as as-Sahih, dikumpulkan dari menemui lebih dari 1.080 guru pakar hadis. Pengarang Fathur Bari, sebuah kitab yang menjelaskan Sahih Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani mengungkapkan, guru-guru Imam Bukhari bisa dibagi menjadi lima tingkatan. Mulai dari para tabiin hingga kawan-kawan seangkatan yang bersama-sama menimba ilmu hadis. Imam Bukhari dikenal sangat objektif dalam memberi penilaian terhadap para gurunya itu.  Penilaian ini dimaksudkan untuk menentukan dapat diterima atau tidak sebuah hadis yang ia dapatkan.

Imam Bukhari terkenal gigih dalam memburu sebuah hadis. Jika ia mendengar sebuah hadis, maka ia ingin mendapat keterangan tentang hadis itu secara lengkap. Ia harus bertemu sendiri dengan orang yang meriwayatkan hadis tersebut. Dalam mengumpulkan hadis-hadis itu, Imam Bukhari melanglang buana mulai daerah Syam, Mesir, Aljazair, Basra, menetap di Makkah dan Madinah selama enam tahun, Kufah, dan Baghdad. Tak jarang beliau bolak-balik ke tempat tersebut karena mendapati keterangan baru atau hadis baru. Kota Baghdad beliau masuki sampai delapan kali. Dan setiap memasukinya, beliau berjumpa dan berkumpul dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

Perjalanan panjang itu akhirnya membuat sang Imam dapat mengumpulkan sedikitnya 600 ribu hadis. Dari angka tersebut, 300 ribu di antaranya dihafal. Hadis-hadis yang dihafal itu terdiri dari 200 ribu hadis tidak sahih dan 100 ribu hadis sahih. Jumlah yang banyak itu tidak lantas dimasukkan semua dalam Sahih Bukhari. Dari 100 ribu hadis yang  sahih, ia hanya mencantumkan 7.275 hadis dalam kitab tersebut. Jumlah ini diseleksi dengan metode yang sangat ketat. Karena itu, tak mengherankan jika para ulama menempatkan Sahih Bukhari sebagai kitab pertama dalam urutan kitab-kitab hadis yang muktabar.

Gelar amirul mukminin dalam bidang hadits yang melekat pada Imam al-Bukhâri sudah tentu berlatar belakang akan kedalaman penguasaannya terhadap hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya; pemahaman, hafalan dan seluk-beluk terkait derajat rijâlul hadits (para perawi hadits).  Begitu juga dengan kekuatan hafalan Imam al-Bukhâri sudah terakui oleh para Ulama di masanya. Bahkan banyak yang menyampaikan kalau beliau langsung menghafal suatu kitab hanya dengan membacanya sekali saja.

Kehebatan hafalan beliau juga tampak ketika Ulama Baghdad mendengar akan kedatangan Abu ‘Abdillâh ke kota mereka. Dengan sengaja, mereka itu mempersiapkan seratus hadits dan kemudian menukar dan merubah matan dan sanadnya. Mereka menukar matan satu sanad dengan teks hadits yang lain, dan begitu sebaliknya. Setiap orang memegangi sepuluh hadits yang nantinya akan dilontarkan kepada Abu ‘Abdillâh sebagai bahan ujian kekuatan hafalannya. Orang-orang pun berkumpul di dalam majlis. Orang pertama menanyakan kepada Imam al-Bukhâri sepuluh hadits yang ia miliki satu persatu. Setiap kali ditanya, Imam al-Bukhâri menjawab, sampai hadits yang kesepuluh, “Saya tahu mengenalnya (hadits itu dengan sanad yang disebutkan). Para Ulama yang hadir pun saling menoleh kepada yang lain dan berkata, “Orang ini (benar-benar) paham”. Sementara orang yang tidak tahu tujuan majlis itu diadakan menilai Imam al-Bukhâri sebagai orang yang lemah hafalannya.

Kemudian tampilah orang kedua, melakukan hal yang sama. Dan setiap kali mendengarkan satu hadits, beliau berkomentar sama, “Aku tidak mengenalnya”. Selanjutnya tampil orang ketiga sampai orang terakhir. Dan komentar beliau pun tidak lebih dari ucapan, “Aku tidak mengenalnya”. Setelah semua selesai menyampaikan hadits-haditsnya, Imam al-Bukhâri menoleh ke arah orang pertama seraya meluruskan, “Haditsmu yang pertama mestinya demikian, yang kedua mestinya demikian, yang ketiga mestinya demikian, sampai membenarkan hadits yang kesepuluh. Setiap hadits beliau satukan dengan matan-matannya yang benar. Beliau melakukan hal yang sama kepada para ‘pengujinya’ lainnya sampai pada orang yang terakhir. Akhirnya, orang-orang pun betul-betul mengakui akan kehebatan hafalan beliau.

Imam al-Bukhâri rahimahullah juga menjadi teladan dalam ibadah dan akhlak sebagai bentuk pengamalan ilmunya. Setiap malam, beliau mengerjakan shalat malam sebanyak 13 rakaat, dan setiap malam dalam bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan bacaan al-Qur`ân. Beliau berinfak dan bersedekah di siang dan malam. Beliau dikenal sebagai orang yang pemberani, pemaaf, banyak berderma, berbudi pekerti luhur, zuhud terhadap dunia dan hati-hati dalam berbicara. Termasuk saat melakukan jarh, beliau menggunakan ungkapan yang halus untuk menilai perawi yang bermasalah atau berderajat lemah.

Diantara pujian yang mengalir kepada Imam al-Bukhâri dari para Ulama di masa itu, baik dari guru-guru maupun teman-temannya. Imam Ahmad bin Hanbal (salah seorang gurunya) mengatakan, ‘Negeri Khurasan tidak pernah melahirkan seperti dirinya’. Ini jelas merupakan syahadah (persaksian) yang sangat istimewa karena disampaikan oleh Imam Ahli Sunnah wal Jamaah.

Imam Ishaq bin Rahuyah (gurunya) berkata, “Seandainya dia (al-Bukhâri) hidup di masa Hasan al-Bashri pastilah orang-orang membutuhkannya karena penguasaan dan pemahamannya terhadap hadits”. Muhammad bin Basyaar (gurunya) berkata, “Huffaazh (Ahli Hadits) di dunia ada empat: Abu Zur’ah dari Ray, Ad-Daarimi dari Samarkand, Muhammad bin Ismail dari Bukhara dan Muslim dari Naisabur”. Imam Qutaibah berkata, “Seandainya Muhammad hidup di kalangan Sahabat maka ia adalah mukjizat”. Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (salah seorang muridnya) berkata, ‘Aku belum pernah melihat di bawah langit orang yang lebih mengetahui hadits Rasûlullâh, lebih kuat hafalannya daripada Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri”. Imam at-Tirmidzi rahimahullah (salah seorang muridnya) berkata, “Aku belum pernah melihat di Irak, tidak juga di Khurasan, seseorang yang lebih paham tentang ‘ilal, tarikh dan pengetahuan mengenai sanad hadits dibandingkan Muhammad bin Isma’il”. Muhammad bin Munir, salah seorang gurunya, bahkan mengaku, “Aku termasuk murid Muhammad bin Isma’il (al-Bukhâri). Dia adalah seorang guru”.

Imam Ibnu Katsîr dalam al-Bidâyah menyebutkan bahwa Imam al-Bukhâri rahimahullah termasuk orang yang doanya dikabulkan. Kejadiannya, gubernur kota Bukhâra mengusirnya dari kota itu. Atas pengusiran yang tidak berdasar itu, Imam al-Bukhâri rahimahullahpun berdoa. Sebulan belum genap berjalan, sang gubernur diberhentikan dan dipenjarakan di Baghdad sampai meninggal di dalamnya. Orang-orang yang ikut berpran dalam pengusiran Imam al-Bukhâri pun mengalami musibah.

Setelah mengisi hari-harinya dengan kesibukan menyebarkan ilmu , ajal yang telah Allah tentukan menjemput Imam al-Bukhâri. Beliau sempat sakit sebelum meninggal. Wafat pada malam Sabtu, malam hari raya Idul Fitri, tahun 256 H dalam usia 62 tahun. Jenazah beliau ditutup dengan tiga lembar kain putih, tanpa mengenakan qamis maupun imamah, sebagaimana isi wasiat yang beliau sampaikan sebelum meninggal. Saat proses pemakaman jenazah, tersebar aroma wangi yang lebih harum dari minyak misk dari kuburnya dan sempat bau harum itu selama beberapa hari. Banyak ilmu bermanfaat yang telah beliau wariskan bagi seluruh kaum Muslimin. Ilmu beliau tidak putus, tetap mengalir atas usaha-usaha baik yang telah curahkan dalam hidupnya.  Kitab-kitab yang beliau wariskan kepada umat Islam yaitu : Shahih al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad, at-Tarikh ash-Shaghir, at-Tarikh al-Kabir, at-Tarikh al-Ausath, Khalqu Af’ali al-‘Ibaad, juz fi al-Qira`ah khalfal Imam.

Demikian sedikit pemaparan sejarah dari seorang ulama yang mendapatkan julukan Amirul Mu`minin dalam bidang hadits. Dan semoga bermanfaat bagi generasi mendatang sehingga dapat meneladani tokoh-tokoh umat tersebut, khususnya para penunutut ilmu.

 

Wallahu A’lam Bi Shawab