KH Abdul Qohar Haji Daeng Matase

Ustadz Daeng. Begitulah biasanya santri-santri Al-Mukmin memanggilnya. Sebagaimana asatidz lainnya, ia bukanlah asli orang Surakarta, namun jatuh hati dengan kota ini dan tinggal di sini hingga akhir hayatnya. Ia lahir di Toli-Toli ulawesi Tengah pada 5 Oktober 1940.53 Sejak masih belia, semangat perjuangan sudah terpatri kuat dalam dirinya. Pada masa revolusi, ia sempat keluar masuk hutan ikut bergerilya bersama para pejuang Muslim lainnya. Saat keluar dari hutan, rambutnya gondrong terurai panjang melebihi bahu karena tidak sempat dipotong selama bergerilya. Ia potong rambut itu karena harus mempersiapkan diri untuk berangkat ke Jawa guna menuntut ilmu di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo.54

Setelah tamat dari Gontor, Ustadz Daeng kemudian melanjutkan studi di IIAM Solo. Di kota ini, ia bertemu kembali dengan rekan-rekannya sealmamater di Gontor dulu, seperti Ustadz Abu Bakar Ba‘asyir dan Ustadz Yoyok Rasywadi. Ia juga turut aktif dalam berbagai kegiatan dakwah di Surakarta, seperti mengisi Kuliah Zuhur di Masjid Agung serta mengisi siaran radio ABC maupun RADIS.

Saat pendirian pesantren Al-Mukmin, Ustadz Daeng turut terlibat sejak awal. Bukan hanya mengajar santri, ia juga diamanahi sebagai bagian keamanan pesantren ketika Al-Mukmin masih berada di Gading Kidul. Pengalaman sebagai bagian keamanan ketika masih nyantri di Gontor sangat mewarnai sifat dan karakternya. Ia dikenal sebagai orang yang tegas, baik saat sedang mengajar maupun di luar mengajar.

Gading Kidul semula dikenal sebagai daerah merah. Pada 1965, dua dari sembilan orang mahasiswa Ustadz Amir yang menempati asrama mahasiswa di sana dibunuh oleh orang PKI.57 Meskipun peristiwa 1965 itu sudah berlalu sekian tahun, namun pada awal 1970-an ternyata sisa-sisa dari pengaruh kaum merah itu masih terasa. Masih banyak preman dan orang jahat berada di sekitar komplek Pondok Al-Mukmin di Gading Kidul. Terkadang datang anak-anak muda meneror pesantren. Selain Ustadz Daeng, dipilihlah dari kalangan santri seseorang untuk menjadi bagian keamanan. Santri itu bernama Sartono. Ia menceritakan kenangannya ketika menjadi santri Al-Mukmin angkatan pertama, “Saya dikasih klewang satu oleh Ustadz Qahar. Kata Ustadz Qahar, kalau ada apa-apa, kamu sikat saja orang yang macam-macam ke pesantren dengan klewang ini.”  

Di kelas, Ustadz Daeng mengajar tarikh dan sirah nabawiyah. Penampilannya ketika mengajar sangat rapi. Rambutnya selalu disisir rapi lengkap dengan minyak yang mengkilap. Tidak lupa, celak hitam juga menghiasi kelopak matanya. Sorot matanya tajam. Jalannya tegap. Suaranya lantang. Bagi para santri, ia menjadi salah satu pengajar favorit. Saat mengajar di kelas 2 dan 3 Mts Ngruki putra pada 1994-1996, misalnya, sangat jarang santri mengantuk, bahkan tidur. Pelajaran sirah nabawiyah padahal waktu itu dijadwal di siang hari; dari jam 11-an hingga Zuhur, kemudian dilanjutkan ba‘da Zuhur sekitar jam 12.30 WIB hingga 13.20 WIB. Di kalangan santri Ngruki, waktu pelajaran siang adalah waktu yang paling besar tantangannya untuk mengantuk. Oleh karena tidak kuat lagi menahan kantuk, terkadang sebagian santri malah tertidur dengan berbantalkan bangku ataupun buku. Namun untuk pelajaran Ustadz Daeng, jarang sekali atau bahkan hampir tidak ada santri yang mengantuk, apalagi tidur. Setidaknya hal ini karena dua alasan. Pertama, santri takut kepada Ustadz Daeng. Melihat sosoknya yang gagah dan jalannya yang tegap serta mendengar suaranya yang lantang, mau tidak mau para santri berusaha menahan matanya agar melek dan tidak terpejam. Rasa takut ini sebenarnya diiringi dengan rasa hormat dan takjub terhadap penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh Ustadz Daeng ketika mengajar. Kedua, santri merasa rugi jika sampai terlewat dari pelajaran yang disampaikan oleh Ustadz Daeng. Saat mengajar sirah nabawiyah, Ustadz Daeng tidak berhenti pada menjabarkan rangkaian peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi. Akan tetapi, ia juga sering mengaitkannya dengan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya sendiri, baik ketika bergerilya di hutan-hutan Sulawesi di zaman revolusi maupun peristiwa-peristiwa lain dalam perjalanan hidupnya. Pengalaman pribadi Ustadz Daeng menjadikan pelajaran sirah nabawiyah terasa hidup dan tidak membosankan.          

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *