6 Muasis
KH Abu Bakar Ba’asyir

KH Abu Bakar Ba’asyir

Ustadz Abu Bakar Ba’asyir

Ustadz Abu Bakar Ba‘asyir lahir dari keluarga sederhana di Desa Pekunden Mojoagung, Jombang, Jawa Timur pada 12 Dzulhijjah 1356 H bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1938. Ayahnya bernama Abud Ahmad Ba‘asyir, seorang pedagang kain berdarah Yaman. Abu Bakar Ba‘asyir adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara, empat orang perempuan dan tiga laki-laki, masing-masing bernama: Seha, Fatmah, Aisyah, Salim, dan Ahmad (perempuan keempat meninggal saat masih bayi, tidak jelas namanya).   

Pada usia tujuh tahun, Abu Bakar Ba‘asyir menjadi seorang yatim setelah sang ayah wafat pada tahun 1945. Sepeninggal ayahnya, ia diasuh oleh ibundanya bernama Halimah. Sang ibu tidak bersekolah formal, tetapi pandai mengaji. Berbekal ilmu agama itulah, ia membimbing dan menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada putra putrinya dengan penuh kasih sayang. Di bawah asuhan sang ibu, Abu Bakar Ba‘asyir tumbuh besar menjadi pemuda yang sederhana di bawah naungan rahmat Ilahy. Dari penuturannya sendiri, terasa betapa ia sangat menyayangi ibundanya. Oleh karena itu, ketika ibundanya meninggal pada tahun 1980, ia sangat bersedih.

Di kota kecil Mojoagung inilah Abu Bakar Ba‘asyir menghabiskan masa kanak-kanak bersama saudara-saudaranya. Kehidupan keluarganya sangat sederhana sehingga pendidikan formal dijalaninya hanya sampai kelas satu Sekolah Menengah Atas. Untuk membantu ekonomi keluarga, ia pernah selama satu setengah tahun bekerja membantu kakaknya mengelola perusahaan tenun.

Kemudian pada tahun 1959-1963, Abu Bakar Ba‘asyir melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, atas biaya dua orang kakaknya, Ahmad dan Salim. Setelah menamatkan belajar di Pesantren Gontor, ia meneruskan pendidikan dan kuliah di Universitas Al-Irsyad, Surakarta, mengambil jurusan Dakwah.

Jauh sebelum terjun ke masyarakat sebagai muballigh, ia lebih dahulu aktif dalam berbagai organisasi Islam. Tahun 1956 aktif dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) sebagai sekretaris tingkat kecamatan. Tahun 1961 menjadi ketua PII (Pelajar Islam Indonesia) ranting Pondok Pesantren Modern Gontor. Selanjutnya pada tahun 1966 tampil sebagai ketua LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam) cabang Surakarta.

Jabatan lainnya yang pernah dipegang dalam organisasi Islam adalah sekretaris umum Pemuda Al-Irsyad cabang Surakarta.

Pengalaman organisasi banyak menempa dirinya dalam perjalanan mengarungi samudera kehidupan. Pada tahun 1967 bersama sahabat karibnya, Ustadz Abdullah Sungkar dan Ustadz Hasan Basri, ia mendirikan pemancar Radio Dakwah Islamiyah ABC (Al-Irsyad Broadcasting Commission). Dua tahun kemudian, yaitu pada 1969, mereka mendirikan Radio Dakwah Isamiyah Surakarta (RADIS).

Seruan dakwah Islamiyah yang dipancarkan melalui radio benar-benar efektif. Belum lama mengudara, reputasi RADIS sebagai lisan dakwah dengan muballigh terkenal dan digemari mampu membangun citra dakwah yang istiqamah, jujur, dan berani dalam menyampaikan kebenaran. Akan tetapi radio ini tidak berumur panjang. Aparat keamanan menganggap dakwah yang disampaikan oleh para muballigh sudah memasuki wilayah politik, mengkritik penguasa terutama menyangkut pemaksaan asas tunggal Pancasila, sehingga dipandang anti-pemerintah. Sebagai akibatnya, pada 1975 rezim Orde Baru melarang RADIS mengudara.

Radio tentu saja bukan satu-satunya media dakwah yang bisa dimanfaatkan. Oleh karena itu, perhatian Ustadz Abu Bakar Ba‘asyir kemudian dikonsentrasikan ke dunia pendidikan. Atas inisiatif bersama sahabatnya, Ustadz Abdullah Sungkar, maka pada tahun 1972 Ustadz Abu Bakar Ba‘asyir mendirikan Pondok Pesantren Al-Mukmin. Saat itu Ustadz Abdullah Sungkar menjabat sebagai ketua yayasan, sedangkan Ustadz Abu Bakar Ba‘asyir sebagai pimpinan pesantrennya. Anggota yayasan sekaligus badan pendiri pesantren lainnya adalah Ustadz Mochammad Amir, S.H.; Ustadz Hasan Basri, BA; Ustadz Abdul Qohar Daeng Matase; dan Ustadz Abdullah Baraja.

Ustadz Abu Bakar Ba‘asyir dikenal sebagai seorang yang mukhlis, sederhana dalam hidup, dan kuat memegang prinsip. Sejak masih muda, ia sangat berhati-hati dalam bergaul dengan wanita. Ustadz Farid Ma‘ruf, yang sama-masa pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Surakarta, mengenang kisah masa mudanya bersama ustadz Abu Bakar Ba‘asyir. Ia menuturkan, “Dulu saya bersama ustadz Abu di HMI. Saya sebagai ketua HMI, ustadz Abu sebagai ketua LDMI. Apabila berjalan bersama kawan-kawan wanita, ustadz Abu selalu berjalan di depan. Beliau tidak pernah mau berjalan bersama satu barisan. Nah, nanti kalau saatnya belok, dari belakang ada yang berteriak belok kanan atau belok kiri.”46 Mengenai pribadi ustadz Abu Bakar Ba‘asyir yang dikenal mukhlis, ustadz Farid Ma‘ruf berkata, “Saya kenal betul beliau orang yang mukhlis dalam perjuangan. Beliau tidak kenal bahasa diplomasi. Itu tipenya beliau.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *